Perkawinan
Adat ialah suatu bentuk kebiasaan yang telah dilazimkan dalam suatu masyarakat
tertentu yang mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan
suatu perkawinan baik secara seremonial maupun ritual menurut Hukum Adat
setempat.
Perkawinan
Adat di Ternate mengenal beberapa bentuk yang sejak dahulu sudah dilazimkan
dalam masyarakat dan telah berlangsung selama berabad-abad hingga saat ini.
Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah :
1. LAHI SE TAFO atau WOSA LAHI (=Meminang/Kawin
Minta)
2. WOSA SUBA (=Kawin Sembah)
3. SICOHO (=Kawin Tangkap)
4. KOFU’U (=Dijodohkan)
5. MASIBIRI (=Kawin Lari)
6. NGALI NGASU (=Ganti Tiang)
A. MEMINANG / KAWIN MINTA (Lahi se
Tafo atau Wosa Lahi)
Lahi
se Tafo atau meminang merupakan bentuk perkawinan adat yang sangat populer dan
dianggap paling ideal bagi masyarakat setempat, karena selain berlaku dengan
cara terhormat yakni dengan perencanaan yang telah diatur secara matang dan
didahului dengan meminang juga karena dilakukan karena dilakukan menuruti
ketentuan yang berlaku umum di masyarakat dan juga dianggap paling sah menurut
Hukum Adat.
Pelaksanaan
rukun nikah dilakukan menurut syariat Islam dan setelah itu dilaksanakan acara
; Makan Adat, Saro-Saro, Joko Kaha, dan disertai
dengan acara-acara seremonial lainnya. Sebagian masyarakat Ternate memandang
bahwa semakin megah dan meriah pelaksanaan seremonial sebuah perkawinan, maka
status/strata sosial dalam masyarakat bisa terangkat.
B. KAWIN
SEMBAH (Wosa Suba)
Bentuk
perkawinan Wosa suba ini sebenanrnya merupakan suatu bentuk penyimpangan dari
tata cara perkawinan adat dan hanya dapat disahkan dengan terlebih dahulu
membayar/melunasi denda yang disebut “Bobango”. Perkawinan ini terjadi karena
kemungkinan untuk menempuh cara meminang/wosa lahi sangatlah sulit atau bahkan
tidak bisa dilakukan karena faktor mas-kawin ataupun ongkos perkawinan yang
sangat mahal dsb.
Perkawinan
bentuk Wosa Suba ini terdiri atas 3 cara, yakni :
1. Toma
Dudu Wosa Ino, Artinya dari luar (rumah) masuk ke dalam untuk menyerahkan diri
ke dalam rumah si gadis, dengan tujuan agar dikawinkan.
2. Toma
Daha Wosa Ino, Artinya dari serambi masuk menyerahkan diri ke dalam rumah si
gadis agar bisa dikawinkan.
3. Toma
Daha Supu Ino, Artinya dari dalam kamar gadis keluar ke ruang tamu untuk
menyerahkan diri untuk dikawinkan karena si pemuda telah berada terlebih dahulu
di dalam rumah tanpa sepengatahuan orang tua si gadis.
Bentuk
perkawinan “Wosa Suba” ini sudah jarang dilakukan oleh muda-mudi Ternate saat
ini karena mereka menganggap cara yang ditempuh dalam bentuk perkawinan ini
kurang terhormat dan menurunkan martabat keluarga pihak laki-laki.
C. KAWIN
TANGKAP (Sicoho)
Bentuk
perkawinan ini sebenarnya hampir sama dengan cara ke tiga dari bentuk Wosa Suba
di atas hanya saja kawin tangkap bisa saja terjadi di luar rumah, misalnya di
tempat gelap dan sepi, berduaan serta berbuat diluar batas norma susila.
Dalam
kasus seperti ini, keluarga pihak gadis menurut adat tidak dibenarkan melakukan
tindak kekerasan atau penganiyaan terhadap si pemuda walaupun dalam keadaan
tertangkap basah. Maka untuk menjaga nama baik anak gadis dan keluarganya
terpaksalah mereka dikawinkan juga menurut hukum adat secara islam yang berlaku
pada masyarakat Ternate.
Perkawinan
bentuk ini dianggap sah menurut adat apabila si pemuda atau pihak keluarga
laki-laki terlebih dahulu meminta maaf atas perbuatan anaknya terhadap keluarga
si gadis dan membayar denda (Bobango) kepada keluarga si gadis. Bentuk
perkawinan ini masih sering ditemui di Ternate.
D. DIJODOHKAN (Kofu’u)
Bentuk perkawinan ini terjadi apabila telah terlebih dahulu terjadi kesepakatan antara orang tua atau kerabat dekat dari masing-masing kedua belah pihak untuk mengawinkan kedua anak mereka.
Bentuk perkawinan ini terjadi apabila telah terlebih dahulu terjadi kesepakatan antara orang tua atau kerabat dekat dari masing-masing kedua belah pihak untuk mengawinkan kedua anak mereka.
Bentuk
perkawinan dijodohkan ini tidak terlalu jauh berbeda dengan daerah-daerah lain
di Indonesia, hanya saja perbedaan yang paling prinsipil adalah; Kalau di
Ternate, terjadi antara anak-anak yang bapaknya bersaudara dekat/jauh atau
ibunya bersaudara dekat/jauh. Kebanyakan bentuk perkawinan ini tidak disetujui
oleh anak muda jaman sekarang sehingga jalan yang mereka tempuh adalah bentuk “Masibiri”
atau Kawin Lari. Bentuk perkawinan Kofu’u ini sudah jarang terjadi dalam
masyarakat Ternate.
E. KAWIN
LARI (Masibiri)
Perkawinan
bentuk ini adalah cara yang ditempuh sebagai usaha terakhir karena jalan lain
tidak memungkinkan atau tidak ada. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya
Kawin Lari diantaranya karena orang tua tidak menyetujui, menghindari biaya
perkawinan yang sangat tinggi, pihak laki-laki tidak mampu untuk melaksanakan
cara meminang atau juga karena mereka berlainan rumpun marga dalam kelompok soa
yang tidak boleh kawin-mawin.
Bentuk
perkawinan ini ditempuh dan dapat terjadi karena pihak keluarga si pemuda
adalah berasal dari strata bawah atau terlalu miskin untuk mampu melaksanakan
cara meminang. Masyarakat Ternate menganggap bahwa bentuk Kawin Lari merupakan
pintu darurat yang ditempuh oleh si pemuda. Kaum muda mudi di Ternate jaman
sekarang menyebutnya dengan istilah plesetan “Kawin Cowboy”.
Konsekwensi
adat yang dipikul akibat perkawinan ini sudah dipikirkan matang-matang oleh
pasangan kedua remaja tersebut. Walaupun perkawinan ini dilakukan secara
darurat (kebanyakan dilaksanakan di rumah penghulu) namun tetap dianggap sah
menurut hukum adat karena tata cara perkawinan dilaksanakan menurut rukun nikah
secara Islam.
Biasanya
yang bertindak sebagai wali adalah “Wali Hakim Syari’at”. Karena biasanya orang
tua si gadis tidak bersedia menjadi wali nikah. Pada umumnya si gadis
lari/kabur dari rumah orang tuanya dan menuju ke rumah petugas/pejabat nikah
(Hakim Syari’at), ia langsung diterima oleh isteri pejabat Haki Syari’at
tersebut dan diperkenankan untuk mtinggal beberapa hari. Setelah petugas
memberitahukan kepada orang tuanya bahwa anak gadisnya sekarang berada di
rumahnya. Biasanya orang tua si gadis menyerahakan wali dan pelaksanaan
perkawinan darurat ini kepada petugas Hakim Syari’at untuk mengurusnya.
Bentuk
perkawinan Masibiri ini hingga saat ini masih banyak ditempuh oleh anak muda
Ternate yang mengambil jalan pintas untuk berumah tangga bila tidak direstui
oleh orang tuanya.
F. GANTI
TIANG (Ngali Ngasu)
Bentuk
perkawinan ini walaupun menjadi salah satu jenis dalam perkawinan adat di
Ternate namun jarang sekali terjadi. Bentuk perkawinan Ngali Ngasu ini terjadi
apabila salah satu dari pasangan suami isteri yang isterinya atau suaminya
meninggal duni maka yang menggantikannya adalah iparnya sendiri, yaitu kakak
atau adik dari si siteri atau kakak atau adik dari si suami suami.
Bentuk
penggantian peran dimaksud dalam jenis perkawinan ini dilakukan dengan cara
mengawini iparnya sendiri demi kelangsungan rumah tangganya agar tidak jatuh ke
tangan pihak lain.
Perkawinan
semacam ini bagi masyarakat adat di pulau Jawa dikenal dengan istilah “Turun
Ranjang”. Namun karena perkembangan pola pemikiran dan perkembangan jaman
mengakibatkan bentuk perkawinan sudah hampir tidak pernah terjadi lagi di
Ternate.
By: BusrantoBaca juga : http://viruscinta572.blogspot.com/2015/06/upacara-pernikahan-adat-di-maluku-utara.html
0 Response to "Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat di Ternate Maluku Utara"
Posting Komentar